Kamis, 20 Januari 2011

Leput

Sekolah Patah Pensil

Oleh: Daniel Kaligis

SEJARAH mencatat, upaya Jan Lighthart, seorang kepala sekolah menengah di Den Haag, Belanda. Jan Lighthart tidak puas dengan metode belajar pasif, dan Lighthart merasa penting bahwa pendidikan kudu membawa anak mengenal persoalan yang berkaitan langsung dengan kehidupannya. Masih dengan persoalan yang sama, yaitu pendidikan. Maria Montessori yang terusik melihat pendidikan bagi anak cacat yang hanya terarah pada satu aspek saja. Sebagai kritik ia mengembangkan pendidikan yang membangun motivasi dan kemauan.
Di persada kita, pendidikan awalnya sudah dianggap sebagai bagian penting dari perjuangan melawan penguasa kolonial. Pikiran itu berkembang setelah timbul kesadaran bahwa kolonialisme mungkin bertahan bukan hanya karena keserakahan dan kejahatan penguasa kolonial, tapi juga karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan rakyat untuk melawan. Sejak akhir abad ke-19 berdiri sekolah-sekolah swasta yang diselenggarakan rakyat, karena rakyat sudah mulai tahu prilaku “busuk” sistem pendidikan kolonial yang hanya memberi kesempatan kepada mereka yang mampu dan “berguna” bagi perpanjangan tangan kolonial.
Seperti makanan lezat. Enak sekali memang bila bicara soal pendidikan yang membebaskan. Pendidikan yang mampu membuka wawasan, mampu mengajar dan mendidik, yang boleh membuka “pasung” keterjajahan kita karena kebodohan yang belum diajar.
Namun sayang, sekarang pendidikan jadi soal nomor buntut dari prioritas negara. Mungkin kita boleh kembali membuka sejarah dan menemu sekedar padanan soal setaranya kemauan pendidikan di masa lampau dengan pendidikan dewasa ini.
Pada zaman kolonialisme, penguasa kolonial menerapkan sistem pendidikan untuk mengubah anak rakyat tanah jajahan menjadi ‘manusia beradab’ sesuai ukuran penguasa di masa itu. Di India, Rabindranath Tagore (1861-1941) mendirikan Shanti Niketan, sebagai perlawanan terhadap pendidikan kolonial Inggris yang hanya ingin menciptakan rakyat jajahan yang penurut dan sedikit ‘terpelajar’. Berkebalikan dengan mau Tagore, di sana pula ada sekolah kolonial yang menjadi alat efektif untuk menyaring orang-orang India berbakat untuk mengisi jajaran birokrasi kolonial. Anak didik dijauhkan dari bahasa dan tradisinya sendiri, dan dipaksa mengikuti disiplin dan cara berpikir kolonial Inggris. Mereka yang lulus dan akhirnya mendukung sistem itu, dikenal dengan sebutan Anglicist, adalah pembela utama sistem kolonial secara keseluruhan, dan menganggap penindasan kolonial sebagai hal yang patut diterima oleh rakyat India yang dinilai ‘tak beradab’.
Petaka pendidikan, ketika bahasa dan tradisi lokal hanyut oleh kedigdayaan sistem terpusat yang menindas wilayah lokal “otonom” pendidikan itu. Rakyat menjadi jauh dari penguasa yang “pinter”.
Ada dua arah yang berbeda mengalir pada contoh di atas tadi. Mereka yang mau mengangkat potensi lokal, dan mereka yang menjauhkan hakikat rakyat dari penguasanya.
Petaka “patah pensil” pendidikan itu juga sementara mengalir di daerah kita, walau kita menyebut yang mana jumlah melek huruf di Sulawesi Utara tergolong tinggi di negera kita. Cerita berita yang sering dimuat media massa, anggaran pendidikan “disinyalir” didepositokan. Tak soal berapa banyak, tapi perbantahan kata sudah sementara disusun untuk mengaburkan data yang memang sudah sekian lama “patah”.
Guru yang suka bolos dan tak pantas mengajar adalah persoalan lain, tapi hak musti disalurkan. Tentang pendidikan di Minahasa ada yang menggerutu kesal. “Dorang bilang skolah-skolah so ja dapa bantuan, malah dorang bilang ada pendidikan gratis. Maar..., torang cuma dengar de pe suara, de pe kenyataan belum ada. Bantuan operasional skolah torang nentau ja beking apa.”
Dengus ketidaktahuan di era yang mengumandangkan kebebasan informasi publik ini, rupanya bohong.
Saya jadi tertarik dengan sebuah tajuk yang menilik soal prilaku dan sedikit menyinggung pendidikan di tanah Minahasa, dituliskan beberapa ketika lampau oleh seorang kawan. Berabad-abad lamanya diskursus dan pembelajaran secara holistik mengacu pada penyeragaman manusia. Instrumen dan sistem kemasyarakatan — pendidikan, ekonomi, agama, sosiologis, dan lain-lain — dilandasi oleh semangat peradaban bebek yang ujungnya melahirkan behavourisme atau mental babu. Mesin-mesin kloning yang disebut pembangunan, menduplikasi status dan manusia copian yang tak punya roh. Karakter kolektivisme yang senantiasa menciptakan “bos” sebagai pemberi nafkah. Suatu sosiologi peran yang kehilangan corak manusiawi!! Emmanuel Kant mengatakan, “Mereka terpukau dengan kilau permata dan berusaha menguasai kilau tersebut, bukan permatanya.” (Revkots, dalam Manusia Kloning dan Mental Babu).
Buah bibir sebuah kasus di dunia pendidikan, betapa pemujaan “bos” itu masih berlangsung, dan mungkin kabar tentang dana pendidikan hanya jadi “mainan” para “bos” yang mau mematahkan “pensil” pendidikan bermutu di Minahasa, akan “diam” dalam putaran waktu dan akhirnya kita semua lupa. Diamlah kasus!
Sayang memang, sebab institusi sekolah saat ini cuma jadi ladang bisnis yang tidak tuntas memberi ilmu murni. Demikian pula dunia pendidikan kita justru hanya sekedar menyeragamkan peserta didik. Pendidikan masih sejuta hitungan perkara dan matematika pelumeran dana-dana misterius, sementara kekuasaan diam, sentralistik belum memberi tempat bagi daerah-daerah untuk secara otonom mengajarkan apa yang ada dan terjadi di wilayah kelola lokal.
Sekolah sudah menjadi tempat propaganda untuk mengekalkan rezim busuk yang tak menghendaki kemerdekaan yang hakiki dari tiap warga negara Indonesia.
Semestinya gerakan pendidikan membentuk pemahaman umum bahwa pendidikan bukanlah proses transfer pengetahuan apalagi pemaksaan doktrin. Justru sebaliknya, gerakan pendidikan melawan kecenderungan tersebut. Pendidikan adalah proses pengembangan sikap terhadap lingkungan alam, sosial dan diri sendiri sebagai manusia. Pengetahuan pun bukan barang jadi yang tinggal diterima, tapi sebuah hasil penjelajahan yang memerlukan kreativitas dan kebebasan.
Demikian, dunia pendidikan harus dibangun secara transparan dan mampu memerdekakan tiap pesertanya, dan dapat menjamin masa depan yang didisain dengan kreativitas yang tak terpangkas oleh perkara yang didiamkan hari ini.

Penulis adalah salah seorang Budaywan Muda Minahasa yang sehari-hari beraktifitas sebagai seorang jurnalis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar