Kamis, 20 Januari 2011

Keker

Mengakrabkan Injil dan Kebudayaan Minahasa
Usaha Mengakhiri Dominasi Teologi Barat di Minahasa

Oleh Denni Pinontoan

Koleksi foto: Bodewyn Talumewo
Kekristenan sudah mengakar di Minahasa. Mayoritas orang Minahasa beragama Kristen. Persoalan kontemporer kekristenan Minahasa adalah bagaimana mengakrabkan kebudayaan Minahasa dengan Injil yang dulunya dibawa masuk oleh para Zending Barat.
Hari sudah malam, kira-kira pukul 20.30 wita. Rumoong, seperti wanua-wanua lain di Tanah Minahasa malam itu sudah diselimuti dengan langit hitam. Tapi, Yon Kondoy, laki-laki berusia 72 tahun malam itu hanya mengenakan ”kaos dalam” (orang Minahasa biasa menyebutnya ”gale mangku” - red). Seperti tak merasa bahwa angin dingin juga masuk ke bagian dalam rumahnya. Bicaranya penuh semangat, seperti masih berusia 27 tahun. Padahal, hari itu Opa Yon, berhari ulang tahun ke 72.
Yon Kondoy lama sebagai Pelayanan Khusus di Gereja GMIM "Ta'ar Era" Rumoong. Makanya, ketika bicara tentang Minahasa dia selalu mengkaitkannya dengan kekristenan.
"Ngoni sebagai orang muda, nda boleh meninggalkan kebudayaan dan sejarah Minahasa!" katanya tegas.
"Boleh so opa, berMinahasa sekaligus juga bergereja?" tanya kami.
"Boleh katu no. Cuma jangan sampai kebudayaan dan sejarah Minahasa mengalahkan torang pe Kristen. Beda kwa tu ja bilang umat Allah dan Umat Kristen," kata Opa Yon semangat.
"Depe beda, bagimama opa.".
"Kalau umat Allah, dia belum Kristen. Mar kalau umat Kristen, dia so percaya Kristen. Tu torang pe dotu-dotu katu dulu so percaya ada kuasa di atas, mar nanti Riedel dan Schwarz kase kenal tu Injil Yesus Kristus, baru dorang jadi Umat Kristen." katanya menjelaskan.
"Opa, waktu dulu, sebelum orang Minahasa kenal Kristen, ada nda korupsi?" tanyaku.
"Ah, ini. Waktu dulu, nyanda stou. Mar sekarang, ngoni lia jo, so Kristen, maar banyak koruptor. Hele cuma ba rekeng doi persembahan di gereja, ada pelsus ja balolo."
"Kong, kalu bagitu, mana lebe bagus dang?"
"Tetap katu Kristen no, karena percaya Kristus. Tu agama suku, belum talalu bagus karena nda percaya Kristus," katanya menjawab.
"Opa, dulu ja bapegang (punya jimat – red).”
"Oh, ada. Waktu pergolakan kalu nda itu, kita so mati. Bayangkan tu musuh so di muka pa kita, dorang nda da pa lia pa kita, karena ada ba pegang. Mar, serta kita jadi pelayan, kita lepas samua itu. Karena itu pekerjaan setang," terang Opa Yon.
"Kong bagimana dang orang Minahasa mo ba gereja sekarang.”
"Kita bilang ulang, karena so kristen, maka jang sampe tu kebudayaan dan sejarah Minahasa lebeh tinggi dari Kristen. Karena bagaimanapun, kebudayaan adalah juga anugerah Tuhan." tandasnya.
Pemahaman Opa Yon mengenai hubungan antara kebudayaan Minahasa dengan Kekristenan barangkali mewakili juga kebanyakan pemahaman orang Minahasa kebanyakan tentang perjumpaan antara Injil dan kebudayaan Minahasa. Fredy Wowor, budayawan muda Minahasa berpendapat, jawaban-jawaban semacam itu memang terdapat juga dalam benak kebanyakan orang Minahasa. ”Ada dilema dalam diri orang Minahasa ketika bicara kekristenan dan keminahasaan dalam konteks sekarang,” ujar Fredy.

Selengkapnya baca di Majalah Waleta Minahasa edisi 1, thn. I, 2010. 
==========================================================

Kekristenan Barat Bertemu Kebudayaan Minahasa

Oleh: Rikson Karundeng

Agama Kristen Eropa bertemu para leluhur Minahasa sudah sejak abad 16. Kini, khusus Kristen Protestan, telah mengakar di Minahasa. Perjumpaan ini bagaimanapun telah memberi banyak pengaruh bagi kebudayaan Minahasa hari ini.

Spanyol menginjakkan kaki di Minahasa
Catatan historis mengungkapkan kalau orang-orang Spanyol lebih dulu datang ke Minahasa dari pada Portugis, yakni pada tahun 1525. Tapi orang-orang Sapnyol baru mulai menetap setelah tahun 1580.
H van Kol berdasarkan informasi yang ia peroleh dari berbagai sumber menerangkan bahwa sekitar bulan Oktober 1521 serombongan orang Spanyol; yang tergabung dalam armada musafir samudra Ferdinand Magelhaens tiba di Tidore. Sebagian anggota armada Spanyol ini memisahkan diri dari induknya dan kemudian berlabuh di salah satu tempat di pantai Minahasa.
Menurut penjelasan A.J. Aerensbergen S.J., dalam De Katholieke Kerk en here missie in Minahasa , sesuai dengan kebiasaannya dapat disimpulkan bahwa di antara mereka terdapatlah sejumlah misionaris yang langsung berinisiatif mengadakan pekabaran Injil. Jadi, diperkirakan sejak tahun 1520-an sudah ada pastor-pastor yang menyebarkan Injil di Tanah Minahasa. Dengan kata lain, kristianitas Katolik mulai dimasukkan di Minahasa sejak saat itu yang bagi J. van. Paassen, bentuk penginjilan ketika itu masih bersifat insidentil.
J.G.F. Riedel menyebutkan bahwa armada Spanyol pertama itu telah belabuh di Kima. Besar kemungkinan bahwa tempat itu sama dengan sebuah nama kelurahan yang kini menjadi bagian dari kecamata Molas, Manado. Kehadiran orang-orang Spanyol ini ternyata disambut dengan sikap acuh tak acuh oleh penduduk khususnya dari taranak Tombulu. Sehingga, sebagian besar anggota armada itu berlayar terus menyusur pantai ke arah selatan dan berlabuh di Uwuren/Amurang. Dari Uwuren, orang Spanyol mulai bergerak masuk ke pedalaman dan tiba di Cali atau Kali, sebuah desa dekat danau bernama Wasian Uwuren atau Tonsawang, yang waktu itu merupakan  salah satu pusat penghasil padi terbesar di tanah Minahasa.
Selanjutnya dalam satu ekspedisi lain, mereka mengarungi sungai Rano I Apo atau Ranoyapo dan tiba di Pontak. Di sana mereka mendirikan gudang penampungan beras karena di sana juga terdapat hasil padi/beras yang berlimpah. N. Graafland, seorang penginjil Protestan pada abad 19,  dalam De Minahasanya mengatakan bahwa ia sempat diberitahu oleh penduduk bahwa mereka masih menyaksikan lesung-lesung batu untuk menumbuk padi peninggalan orang Spanyol.
Satu ekspedisi lagi mereka lakukan ke arah utara. Pertama-tama sampai ke daerah yang menurut  Riedel adalah Rinumeran Ne Touw Um Wasian Katare-tare atau Tombasian, lalu melanjutkan perjalanannya masuk Wanua Wangko atau Kawangkoan terus ke daerah orang Tombulu: Katinggolan (Woloan Tua), Tomohon, turun ke Kali (Wilayah Pineleng kini) dan tiba kembali di dataran Wenang. Sepanjang perjalanan lintas Minahasa itu terjadi perang-perang melawan penduduk malasung sehingga banyak anggota ekspedisi yang kuburannya tidak diketahui. (Red. Hingga sekarang masih ada senjata perang termasuk topi orang-orang Spanyol yang kini dipergunakan sebagai antribut pemain Cakalele, mis. Cakalele yang ada di Paselaten Tomohon. Usianya diperkirakan sudah 4 sampai 5 abad).

Selengkapnya baca di Majalah Waleta Minahasa edisi 1, thn. I, 2010. 

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Wanua Wangko bukannya Tanawangko?
    Soalnya referensinya dari Buku "Hhikajat Tuwah" dri JFG Riedel h. 50: 'berdjalan turus masokh perdijaman Tounbuluh-Katinggolan-Wanua-Wangko".
    Jadi disebutkan di sini Wanua Wangko yg wilayah Tombulu dekat Katinggolan (WoloanTua)...
    Soalnya sebagai orang Lolah Tombariri memang ada bukti ttg keberadaan Kastejla contohnya dari marga-marga Spanyol yg cuma ada di daerah Tombariri..
    Apalgi di daerah sini ada bukti pemukiman org2 Borgo di Tanawangko, yg sebagian juga bermarga indikasi marga Spanyol Kastejla..

    BalasHapus