Jumat, 21 Januari 2011

Waleta Minahasa: bacaan tou minahasa





 


Majalah Waleta Minahasa diterbitkan kerjasama Gerakan Minahasa Muda (GMM) dengan Mawale Cultural Center (MCC). Majalah ini hadir untuk menjadi media informasi, komunikasi juga dokumentasi sejarah, budaya, seni, kuliner dan beberapa persoalan aktual di tanah Minahasa. Terbit perdana Mei 2010. Hadir setiap bulan dengan sajian-sajian yang menarik, semua tentang Tanah Minahasa dengan segala kekayaan sejarah, budaya, kuliner, pesona alam dan dinamikanya hari ini.

Edisi cetak bisa didapatkan di toko-toko buku di Manado, Tomohon, dan Tondano.  Bagi kawanua yang ingin mendapatkan majalah Waleta Minahasa secara praktis, kami menyediakan format Portable Document Format (PDF) yang dapat kami kirim melalui email. 

Kontak:
Meilita Ering (hp. 085298155693)
Denni (hp: 085240066189)
Rikson (hp. 085240037665)
Email: waletaminahasa@gmail.com

Pemimpin Umum/Pemred: Meidy Tinangon
Redaktur: Denni Pinontoan, Rikson Karundeng, Ivan R.B. Kaunang, Fredy Wowor, Bodewyn Talumewo, Greenhill Weol, Sofyan Yosadi.
Penulis: Candra Rooroh, Frisky Tandaju, Riane Elean.
Pemasaran: Meilita Ering, Dilvon

Redaksi

Majalah Waleta Minahasa diterbitkan kerjasama Gerakan Minahasa Muda (GMM) dengan Mawale Cultural Center (MCC). Majalah ini hadir untuk menjadi media informasi, komunikasi juga dokumentasi sejarah, budaya, seni, kuliner dan beberapa persoalan aktual di tanah Minahasa. Terbit perdana Mei 2010. Hadir setiap bulan dengan sajian-sajian yang cukup menarik, semua tentang Tanah Minahasa dengan segala kekayaan sejarah, budaya, kuliner, pesona alam dan dinamikanya hari ini.

Pemimpin Umum/Pemred: 
Meidy Tinangon

Redaktur: 
Denni Pinontoan, Rikson Karundeng, Ivan R.B. Kaunang, Fredy Wowor, Greenhill Weol, Bodewyn Talumewo, Sofyan Yosadi.

Penulis: Candra Rooroh, Frisky Tandaju, Riane Elean.
Pemasaran: Meilita Ering, Dilvon

Ba Sombar

maaf, halaman ini sedang dalam konstruksi...

Tou

Maaf, halaman ini sedang dalam konstruksi...

Kuliner

maaf, halaman ini sedang dalam konstruksi...

Sumikolah

maaf, halaman ini sedang dalam konstruksi...

Wewene

Maaf, halaman ini sedang dalam tahap konstruksi...

Seni

Maaf, halaman ini sedang dalam tahap konstruksi...

Resensi

Maaf, halaman ini sedang dalam tahap konstruksi...

Cirita

Maaf, halaman ini sedang dalam tahap konstruksi...

Hambak

Maaf, halaman ini sedang dalam tahap konstruksi...

Wanuata

Maaf, halaman ini sedang dalam tahap konstruksi...

Makatana

Maaf, halaman ini sedang dalam tahap konstruksi...

Vasung

Maaf, halaman ini sedang dalam tahap konstruksi...

Tempo Dulu

Maaf, halaman ini sedang dalam tahap konstruksi....

Bakudapa

Maaf, halaman ini masih dalam tahap konstruksi......

Kamis, 20 Januari 2011

Leput

Sekolah Patah Pensil

Oleh: Daniel Kaligis

SEJARAH mencatat, upaya Jan Lighthart, seorang kepala sekolah menengah di Den Haag, Belanda. Jan Lighthart tidak puas dengan metode belajar pasif, dan Lighthart merasa penting bahwa pendidikan kudu membawa anak mengenal persoalan yang berkaitan langsung dengan kehidupannya. Masih dengan persoalan yang sama, yaitu pendidikan. Maria Montessori yang terusik melihat pendidikan bagi anak cacat yang hanya terarah pada satu aspek saja. Sebagai kritik ia mengembangkan pendidikan yang membangun motivasi dan kemauan.
Di persada kita, pendidikan awalnya sudah dianggap sebagai bagian penting dari perjuangan melawan penguasa kolonial. Pikiran itu berkembang setelah timbul kesadaran bahwa kolonialisme mungkin bertahan bukan hanya karena keserakahan dan kejahatan penguasa kolonial, tapi juga karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan rakyat untuk melawan. Sejak akhir abad ke-19 berdiri sekolah-sekolah swasta yang diselenggarakan rakyat, karena rakyat sudah mulai tahu prilaku “busuk” sistem pendidikan kolonial yang hanya memberi kesempatan kepada mereka yang mampu dan “berguna” bagi perpanjangan tangan kolonial.
Seperti makanan lezat. Enak sekali memang bila bicara soal pendidikan yang membebaskan. Pendidikan yang mampu membuka wawasan, mampu mengajar dan mendidik, yang boleh membuka “pasung” keterjajahan kita karena kebodohan yang belum diajar.
Namun sayang, sekarang pendidikan jadi soal nomor buntut dari prioritas negara. Mungkin kita boleh kembali membuka sejarah dan menemu sekedar padanan soal setaranya kemauan pendidikan di masa lampau dengan pendidikan dewasa ini.
Pada zaman kolonialisme, penguasa kolonial menerapkan sistem pendidikan untuk mengubah anak rakyat tanah jajahan menjadi ‘manusia beradab’ sesuai ukuran penguasa di masa itu. Di India, Rabindranath Tagore (1861-1941) mendirikan Shanti Niketan, sebagai perlawanan terhadap pendidikan kolonial Inggris yang hanya ingin menciptakan rakyat jajahan yang penurut dan sedikit ‘terpelajar’. Berkebalikan dengan mau Tagore, di sana pula ada sekolah kolonial yang menjadi alat efektif untuk menyaring orang-orang India berbakat untuk mengisi jajaran birokrasi kolonial. Anak didik dijauhkan dari bahasa dan tradisinya sendiri, dan dipaksa mengikuti disiplin dan cara berpikir kolonial Inggris. Mereka yang lulus dan akhirnya mendukung sistem itu, dikenal dengan sebutan Anglicist, adalah pembela utama sistem kolonial secara keseluruhan, dan menganggap penindasan kolonial sebagai hal yang patut diterima oleh rakyat India yang dinilai ‘tak beradab’.
Petaka pendidikan, ketika bahasa dan tradisi lokal hanyut oleh kedigdayaan sistem terpusat yang menindas wilayah lokal “otonom” pendidikan itu. Rakyat menjadi jauh dari penguasa yang “pinter”.
Ada dua arah yang berbeda mengalir pada contoh di atas tadi. Mereka yang mau mengangkat potensi lokal, dan mereka yang menjauhkan hakikat rakyat dari penguasanya.
Petaka “patah pensil” pendidikan itu juga sementara mengalir di daerah kita, walau kita menyebut yang mana jumlah melek huruf di Sulawesi Utara tergolong tinggi di negera kita. Cerita berita yang sering dimuat media massa, anggaran pendidikan “disinyalir” didepositokan. Tak soal berapa banyak, tapi perbantahan kata sudah sementara disusun untuk mengaburkan data yang memang sudah sekian lama “patah”.
Guru yang suka bolos dan tak pantas mengajar adalah persoalan lain, tapi hak musti disalurkan. Tentang pendidikan di Minahasa ada yang menggerutu kesal. “Dorang bilang skolah-skolah so ja dapa bantuan, malah dorang bilang ada pendidikan gratis. Maar..., torang cuma dengar de pe suara, de pe kenyataan belum ada. Bantuan operasional skolah torang nentau ja beking apa.”
Dengus ketidaktahuan di era yang mengumandangkan kebebasan informasi publik ini, rupanya bohong.
Saya jadi tertarik dengan sebuah tajuk yang menilik soal prilaku dan sedikit menyinggung pendidikan di tanah Minahasa, dituliskan beberapa ketika lampau oleh seorang kawan. Berabad-abad lamanya diskursus dan pembelajaran secara holistik mengacu pada penyeragaman manusia. Instrumen dan sistem kemasyarakatan — pendidikan, ekonomi, agama, sosiologis, dan lain-lain — dilandasi oleh semangat peradaban bebek yang ujungnya melahirkan behavourisme atau mental babu. Mesin-mesin kloning yang disebut pembangunan, menduplikasi status dan manusia copian yang tak punya roh. Karakter kolektivisme yang senantiasa menciptakan “bos” sebagai pemberi nafkah. Suatu sosiologi peran yang kehilangan corak manusiawi!! Emmanuel Kant mengatakan, “Mereka terpukau dengan kilau permata dan berusaha menguasai kilau tersebut, bukan permatanya.” (Revkots, dalam Manusia Kloning dan Mental Babu).
Buah bibir sebuah kasus di dunia pendidikan, betapa pemujaan “bos” itu masih berlangsung, dan mungkin kabar tentang dana pendidikan hanya jadi “mainan” para “bos” yang mau mematahkan “pensil” pendidikan bermutu di Minahasa, akan “diam” dalam putaran waktu dan akhirnya kita semua lupa. Diamlah kasus!
Sayang memang, sebab institusi sekolah saat ini cuma jadi ladang bisnis yang tidak tuntas memberi ilmu murni. Demikian pula dunia pendidikan kita justru hanya sekedar menyeragamkan peserta didik. Pendidikan masih sejuta hitungan perkara dan matematika pelumeran dana-dana misterius, sementara kekuasaan diam, sentralistik belum memberi tempat bagi daerah-daerah untuk secara otonom mengajarkan apa yang ada dan terjadi di wilayah kelola lokal.
Sekolah sudah menjadi tempat propaganda untuk mengekalkan rezim busuk yang tak menghendaki kemerdekaan yang hakiki dari tiap warga negara Indonesia.
Semestinya gerakan pendidikan membentuk pemahaman umum bahwa pendidikan bukanlah proses transfer pengetahuan apalagi pemaksaan doktrin. Justru sebaliknya, gerakan pendidikan melawan kecenderungan tersebut. Pendidikan adalah proses pengembangan sikap terhadap lingkungan alam, sosial dan diri sendiri sebagai manusia. Pengetahuan pun bukan barang jadi yang tinggal diterima, tapi sebuah hasil penjelajahan yang memerlukan kreativitas dan kebebasan.
Demikian, dunia pendidikan harus dibangun secara transparan dan mampu memerdekakan tiap pesertanya, dan dapat menjamin masa depan yang didisain dengan kreativitas yang tak terpangkas oleh perkara yang didiamkan hari ini.

Penulis adalah salah seorang Budaywan Muda Minahasa yang sehari-hari beraktifitas sebagai seorang jurnalis.

Tuur


Menelusuri Jejak-Jejak Peradaban Tou Minahasa

Oleh: Rikson Karundeng

Parigi Pingkan di Tanawangko. Foto: Tim WM
Waktu telah menunjukkan lepas pukul 09.00 WITA dan porsi terakhir nasi goreng istimewa racikan chef Denni Pinontoan telah dituntaskan. Tim Ekspedisi Waleta Minahasa (Greenhill Weol, Rikson Karundeng, Denni Pinontoan, Fredi Wowor, Bodewyn Talumewo dan Frisky Tandayu), dengan penuh semangat meninggalkan Steleng Mawale di Bukit Inspirasi Tomohon untuk memulai agenda touring bertajuk “Menelusuri Jejak-Jejak Peradaban Tou Minahasa“ Senin, 8 Maret 2010.
Ado minta maaf ta lat ! Kita so pagi-pagi deri Pinabetengan mar pas singgah pa Fredi di Sonder, Tuama kote da asik ba browsing di warnet. Sonder memang cuma kacili, mar warnet di mana-mana, jadi nyaku bingo mo cari ka mana pa dia,” ujar Friski dengan nada low khasnya dan ekspresi “rasa bagitu” khas Tontemboan.
Ungkapan Frisky itu ditanggapi gelak tawa Tim Waleta Minahasa yang lain. Dan cerita itu berlalu seiring berkurangnya tetesan bensin dari tiga kendaraan roda dua yang ditumpangi enam Waraney Waleta Minahasa (Selanjutnya disingkat WM) itu. Sebelum mengisi bahan bakar di Wanua Woloan, Tim WM menyempatkan diri untuk melihat dari dekat Waruga Dotu Sahiri Supit yang berdiri kokoh tepat di depan gedung Gereja GMIM Eben Heazer Woloan. “Dulu waktu ini greja da bangun tahun 90-an, pernah ada rencana mo se pindah tu waruga. Mar, banya jemaat nda setuju termasuk kita. Karna itu kan nyanda menggangu apapun,” terang Om Poluan, yang sehari-hari ditugaskan sebagai Kostor di gereja tersebut.
“Depe cerita jelas tentang ini waruga nanti torang baca kong dikusikan di steleng. Soalnya kita pe mahasiswa bimbingan skripsi di Fakultas Teologi UKIT, baru-baru da biking penelitian tentang itu waruga,” kata Denni sambil mengajak Tim WM untuk segera melanjutkan perjalanan.
Setelah melewati Wanua Taratara, Ranotongkor, Lolah dan Lemo, 35 menit kemudian Tim WM telah memasuki Wanua Sarani Matani Kecamatan Tombariri. Udara panas yang tak biasa dinikmati di Tomohon, seakan membungkus erat tubuh, hingga memaksa Tim WM untuk berhenti sejenak melepas lelah. Jembatan tua yang diperkirakan dibangun sejak zaman Belanda yang terletak di ujung Wanua Sarani Matani menjadi tempat pilihan Tim untuk beristirahat sambil menatap dengan decakan kagum jembatan kayu yang masih berdiri kokoh itu.
Baru saja starter motor dihentakkan, mesin kendaraan harus berhenti kembali tatkala mata Denni Pinontoan menangkap sebuah batu yang direspons otaknya sebagai sebuah waruga. Ternyata benar itu sebuah waruga, sayang terkesan tidak pernah diindahkan sehingga tumpukan pasir dan sampah yang ada di sekitarnya lebih mudah dikenali ketimbang waruga itu. “Itu kwa waruga deri sebelah utara kampung, kong tahun 90-an ada kase pindah di muka kantor kuntua ini. Menurut cerita, waruga itu da kubur akang torang pe dotu yang pertama kali buka ini kampung. Torang so nda tau depe nama, mar ini waruga da kase pindah di sini supaya torang boleh mo inga trus pa dia yang ada jasa besar da buka ini kampung,” jelas Feri yang kebetulan sedang mencucui kendaraan di samping waruga tersebut.
Salah satu yang terprogram di otak personil Tim WM hari itu adalah menemukan parigi (sumur) Pingkan. Hasrat itu kemudian mendorong Tim untuk menelusuri lorong-lorong di Wanua Ranowangko Kecamatan Tombariri. Di salah satu lorong, mata Tim WM terhenti pada sebuah waruga yang tampak bagian atasnya telah diperindah dengan semen dan telah dimanfaatkan sebagai pampele angin untuk dodika oleh pemilik kios makanan di tempat itu. “Itu kwa waruga dotu Lokon. Salah satu yang bilang pa torang itu dotu Lokon punya, Gubernur Worang. Dia kan dulu ja kampetan. Dulu depe model memang so bagitu mar lantaran so ja ancor depe atas kong da tahang deng semen sadiki. Di seblah ini lei ada waruga mar waktu saman Worang, dorang da se pindah di puncak Tasik Ria. Waktu itu, Gubernur Worang da tata samua ini waruga di sini. Dia lei yang biking kase bagus tu lokasi di parigi Pingkan yang ada di blakang sana,” terang Om Yan Rengkung, sambil mengarahkan telunjuk ke arah Timur untuk menunjuk lokasi Sumur Pingkan yang dicari Tim Waleta Minahasa.

Selengkapnya baca di Waleta Minahasa edisi 1 thn. I 2010

Editorial

Disimpang Jalan,
PENDIDIKAN di Tanah Minahasa
(editorial Waleta Minahasa edisi  No. 2 thn. I Juni 2010)

“Mange wisa ko ?” atau dalam Bahasa Indonesia berarti: “Mau kemana engkau” mungkin adalah bahasa yang tepat untuk mempertanyakan ke mana arah pendidikan di Tanah Minahasa dalam kekinian dan keakanannya. Pertanyaan yang menyiratkan suatu kebingungan dan ketidakpastian ketika menyoal fakta dari suatu objek bernama pendidikan yang semestinya harus memiliki arah dan tujuan yang jelas. Namun ternyata berada di simpang jalan......

Yah, bicara pendidikan kita pasti memahami bahwa bidang yang satu ini punya goal yang pasti. Dalam bahasa awam, tujuan pendidikan sederhananya adalah untuk membuat manusia yang mengenyam pendidikan menjadi manusia yang cerdas, yang otaknya mengunyah aneka pengetahuan atau dalam bahasa kerennya, menjadi Tou Ngaasan. Hal mana dibahasakan oleh konstitusi kita, UUD 1945, sebagai mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kalau tujuannya sudah jelas, mengapa mange wisa ko masih menjadi kalimat pertanyaan pilihan bagi kita ketika menyoal pendidikan di negeri tercinta Minahasa ? Apakah arah perjalanan pendidikan di negeri yang sempat mencetak tenaga pendidik bagi Tou di negeri lain ini sedang mengalami disorientasi ? Apakah lika-liku perjalanannya telah tercerabut dari rel yang benar ? Apa yang salah dengan pendidikan di negeri kelahiran doktor matematika pertama Indonesia ini ?
Bacerita tentang pendidikan memang cukup rumit ternyata. Sekolah, perguruan tinggi, guru, murid, dosen, mahasiswa, kurikulum, barulah sebagian kecil dari perkakas-perkakas yang mengkonstruksi bangunan pendidikan kita.
Tetapi pada akhirnya dalam kerumitan-kerumitan sistem tersebut, kita, dalam menilai berhasil-tidaknya pendidikan, paling gampang dengan melihat buah dari pendidikan tersebut. Apakah buahnya baik atau tidak. Apakah bisa mengenyangkan atau tidak. Selanjutnya, apakah bisa bereproduksi dengan pola dan hasil yang baik.
Sederhananya, buah pendidikan itu akan baik jika mampu membawa kesejahteraan. Yang dimaksud dengan buah disini adalah output dari pendidikan itu sendiri.
Lalu, bagaimana buah dari perjalanan proses pendidikan di Tanah Minahasa ini ?
Fakta kekinian berbicara bahwa Tou Minahasa sebagai “buah” atau output dari pendidikan masih banyak yang terbelunggu dalam pengangguran dan kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik Sulut Desember 2009, jumlah pengangguran untuk keadaan Agustus 2009 sebanyak 110.957,  suatu angka yang bukan sedikit.  Angka yang berpotensi bertambah seiring dengan laju penamatan lulusan SMA, SMK dan Perguruan Tinggi.
Sampai disini, apa yang salah dengan pendidikan kita ?
Rupanya pendidikan kita di zaman sekarang belum mampu menyiapkan tenaga yang bukan hanya siap dipakai tapi siap memakai ilmunya. Pendidikan kita belum mampu menghasilkan lulusan yang mampu mencipta, berinovasi dan mandiri.  Pendidikan kita belum mampu membebaskan !!!
Inilah sebenarnya jawaban substansial dari pertanyaan mange wisa ko di atas. Pendidikan di Tanah Minahasa harus mampu menghasilkan manusia yang bukan cuma ngaasan dalam pengertian berilmu, tetapi mampu menggunakan ilmu untuk menghidupi dirinya dan sesama (Tumou Tou). Pendidikan Minahasa harus mengarah pada pendidikan yang membebaskan karena manusia yang memiliki kebebasanlah yang kelak akan menjadi manusia yang kreatif dan inovatif. Dan manusia yang kreatif dan inovatif-lah yang kelak menjadi manusia mandiri. Tidak tergantung pada peluang-peluang menjadi PNS atau orang upahan.
Kita harus banyak belajar dari dinamika historis pendidikan di negeri Minahasa ini. Banyak orang menganggap bahwa peran lembaga zending dan pemerintahan kolonial sangat  besar bagi perkembangan pendidikan modern dan introduksi sistem sekolah dan sumekolah sebagai wujud akulturasi budaya pendidikan.
Sekalipun demikian, dalam konteks pertanyaan mengenai arah kekinian pendidikan Minahasa kita harus banyak belajar pada sebuah model pendidikan asli Minahasa: Papendangan !!! 
Papendangan adalah sebuah model pendidikan yang komprehensif. Para pelajar (pahayoan) bukan cuma belajar aspek kognisi (pemahaman teoritis ilmu pengetahuan) semata tetapi mereka mendapatkan pemahaman dari aspek Afektif (sikap) lewat pelajaran kenaramen (adat istiadat dan kepercayaan), juga aspek keterampilan (psikomotorik) berupa keterampilan bertani dan berburu bahkan berperang yang merupakan keterampilan yang paling dibutuhkan dalam konteks zaman mereka.
Pendidikan zaman kolonial justru menurut Nico S. Kalangie (1977; Orang Minahasa: beberapa aspek kemasyarakatan dan kebudayaan dalam Majalah Peninjau Tahun IV Nomor:1) menimbulkan suatu paradoks dimana pendidikan sekolah yang sudah mantap sejak lama itu, tidak membawa manfaat untuk kemajuan masyarakat Minahasa, tetapi justru sebaliknya. Hal mana disebabkan karena tujuan pokok dari sistem pendidikan kolonial adalah untuk pegawai kantor pangkat rendahan (klerk) yang dipelajari untuk taat kepada perintah atasan, tetapi tidak usah mempunyai rasa tanggung jawab yang luas. Dengan sendirinya berkembang mentaliteit-pegawai dalam masyarakat orang Minahasa diikuti dengan sikap memandang rendah pekerjaan dengan tangan atau berdagang.
Benar, bahwa sistem pendidikan sekolahan sebagai bentuk pendidikan modern diperkenalkan oleh pemerintah kolonial tersebut, tapi disini kita menemukan jawaban mengapa orang tua dari generasi-generasi tou Minahasa memaksa anaknya untuk sekolah kemudian berorientasi menjadi pegawai upahan pemerintah (PNS) bukannya menjadi Tou yang cerdas kreatif menciptakan lapangan penghidupan dan pencerahan peradaban sebagaimana visi pendidikan lembaga Papendangan.
Sejarah pun berbicara bahwa, derap langkah pendidikan Tou Minahasa terperangkap dalam arus kuat sentralisasi dan homogenaisasi pendidikan oleh hegemoni pemerintah pusat di zaman rezim Soeharto. Tak ada tempat untuk nilai-nilai lokalitas. Tak ada tempat untuk daya kritis dan inovasi.
Pertanyaannya apakah Papendangan kemudian dalam konteks kekinian bisa menjadi model konkrit sebagai jawaban dari mange wisako pendidikan Minahasa?
Konteks kekinian di era reformasi adalah otonomi dan desentralisasi pendidikan. Arus desentralisasi yang memberi ruang gerak bagi daerah sebenarnya menjadi peluang bagi Minahasa untuk melakukan rekonstruksi ulang  bangunan pendidikannya. Kewenangan (authority) yang diberikan kepada pemerintah daerah otonom harusnya dimanfaatkan untuk menata sistem pendidikan daerah, sistem pendidikan di Tanah Minahasa yang berbasis pada budaya unggul leluhur kita, papendangan, tentu saja dengan racikan yang berbeda namun dengan spirit yang sama.
Kita harus memiliki visi dan prinsip yang jelas bagi pendidikan di Tanah Minahasa, kalau ingin pendidikan Minahasa berdiri kokoh dengan arah yang jelas dalam pelayaran yang dinamis yang penuh dengan tarikan-tarikan sisa-sisa kolonialisme dan orde baru serta terpaan angin globalisasi.
Kita harus mengambil pilihan yang realistik, atau kita akan mendaftarkan anak cucu kita pada sistem pendidikan yang suram dan anak cucu kita akan kembali bertanya: Pendidikan di Tanah Minahasa: Mange Wisa Ko ???      ********MET********


Keker

Mengakrabkan Injil dan Kebudayaan Minahasa
Usaha Mengakhiri Dominasi Teologi Barat di Minahasa

Oleh Denni Pinontoan

Koleksi foto: Bodewyn Talumewo
Kekristenan sudah mengakar di Minahasa. Mayoritas orang Minahasa beragama Kristen. Persoalan kontemporer kekristenan Minahasa adalah bagaimana mengakrabkan kebudayaan Minahasa dengan Injil yang dulunya dibawa masuk oleh para Zending Barat.
Hari sudah malam, kira-kira pukul 20.30 wita. Rumoong, seperti wanua-wanua lain di Tanah Minahasa malam itu sudah diselimuti dengan langit hitam. Tapi, Yon Kondoy, laki-laki berusia 72 tahun malam itu hanya mengenakan ”kaos dalam” (orang Minahasa biasa menyebutnya ”gale mangku” - red). Seperti tak merasa bahwa angin dingin juga masuk ke bagian dalam rumahnya. Bicaranya penuh semangat, seperti masih berusia 27 tahun. Padahal, hari itu Opa Yon, berhari ulang tahun ke 72.
Yon Kondoy lama sebagai Pelayanan Khusus di Gereja GMIM "Ta'ar Era" Rumoong. Makanya, ketika bicara tentang Minahasa dia selalu mengkaitkannya dengan kekristenan.
"Ngoni sebagai orang muda, nda boleh meninggalkan kebudayaan dan sejarah Minahasa!" katanya tegas.
"Boleh so opa, berMinahasa sekaligus juga bergereja?" tanya kami.
"Boleh katu no. Cuma jangan sampai kebudayaan dan sejarah Minahasa mengalahkan torang pe Kristen. Beda kwa tu ja bilang umat Allah dan Umat Kristen," kata Opa Yon semangat.
"Depe beda, bagimama opa.".
"Kalau umat Allah, dia belum Kristen. Mar kalau umat Kristen, dia so percaya Kristen. Tu torang pe dotu-dotu katu dulu so percaya ada kuasa di atas, mar nanti Riedel dan Schwarz kase kenal tu Injil Yesus Kristus, baru dorang jadi Umat Kristen." katanya menjelaskan.
"Opa, waktu dulu, sebelum orang Minahasa kenal Kristen, ada nda korupsi?" tanyaku.
"Ah, ini. Waktu dulu, nyanda stou. Mar sekarang, ngoni lia jo, so Kristen, maar banyak koruptor. Hele cuma ba rekeng doi persembahan di gereja, ada pelsus ja balolo."
"Kong, kalu bagitu, mana lebe bagus dang?"
"Tetap katu Kristen no, karena percaya Kristus. Tu agama suku, belum talalu bagus karena nda percaya Kristus," katanya menjawab.
"Opa, dulu ja bapegang (punya jimat – red).”
"Oh, ada. Waktu pergolakan kalu nda itu, kita so mati. Bayangkan tu musuh so di muka pa kita, dorang nda da pa lia pa kita, karena ada ba pegang. Mar, serta kita jadi pelayan, kita lepas samua itu. Karena itu pekerjaan setang," terang Opa Yon.
"Kong bagimana dang orang Minahasa mo ba gereja sekarang.”
"Kita bilang ulang, karena so kristen, maka jang sampe tu kebudayaan dan sejarah Minahasa lebeh tinggi dari Kristen. Karena bagaimanapun, kebudayaan adalah juga anugerah Tuhan." tandasnya.
Pemahaman Opa Yon mengenai hubungan antara kebudayaan Minahasa dengan Kekristenan barangkali mewakili juga kebanyakan pemahaman orang Minahasa kebanyakan tentang perjumpaan antara Injil dan kebudayaan Minahasa. Fredy Wowor, budayawan muda Minahasa berpendapat, jawaban-jawaban semacam itu memang terdapat juga dalam benak kebanyakan orang Minahasa. ”Ada dilema dalam diri orang Minahasa ketika bicara kekristenan dan keminahasaan dalam konteks sekarang,” ujar Fredy.

Selengkapnya baca di Majalah Waleta Minahasa edisi 1, thn. I, 2010. 
==========================================================

Kekristenan Barat Bertemu Kebudayaan Minahasa

Oleh: Rikson Karundeng

Agama Kristen Eropa bertemu para leluhur Minahasa sudah sejak abad 16. Kini, khusus Kristen Protestan, telah mengakar di Minahasa. Perjumpaan ini bagaimanapun telah memberi banyak pengaruh bagi kebudayaan Minahasa hari ini.

Spanyol menginjakkan kaki di Minahasa
Catatan historis mengungkapkan kalau orang-orang Spanyol lebih dulu datang ke Minahasa dari pada Portugis, yakni pada tahun 1525. Tapi orang-orang Sapnyol baru mulai menetap setelah tahun 1580.
H van Kol berdasarkan informasi yang ia peroleh dari berbagai sumber menerangkan bahwa sekitar bulan Oktober 1521 serombongan orang Spanyol; yang tergabung dalam armada musafir samudra Ferdinand Magelhaens tiba di Tidore. Sebagian anggota armada Spanyol ini memisahkan diri dari induknya dan kemudian berlabuh di salah satu tempat di pantai Minahasa.
Menurut penjelasan A.J. Aerensbergen S.J., dalam De Katholieke Kerk en here missie in Minahasa , sesuai dengan kebiasaannya dapat disimpulkan bahwa di antara mereka terdapatlah sejumlah misionaris yang langsung berinisiatif mengadakan pekabaran Injil. Jadi, diperkirakan sejak tahun 1520-an sudah ada pastor-pastor yang menyebarkan Injil di Tanah Minahasa. Dengan kata lain, kristianitas Katolik mulai dimasukkan di Minahasa sejak saat itu yang bagi J. van. Paassen, bentuk penginjilan ketika itu masih bersifat insidentil.
J.G.F. Riedel menyebutkan bahwa armada Spanyol pertama itu telah belabuh di Kima. Besar kemungkinan bahwa tempat itu sama dengan sebuah nama kelurahan yang kini menjadi bagian dari kecamata Molas, Manado. Kehadiran orang-orang Spanyol ini ternyata disambut dengan sikap acuh tak acuh oleh penduduk khususnya dari taranak Tombulu. Sehingga, sebagian besar anggota armada itu berlayar terus menyusur pantai ke arah selatan dan berlabuh di Uwuren/Amurang. Dari Uwuren, orang Spanyol mulai bergerak masuk ke pedalaman dan tiba di Cali atau Kali, sebuah desa dekat danau bernama Wasian Uwuren atau Tonsawang, yang waktu itu merupakan  salah satu pusat penghasil padi terbesar di tanah Minahasa.
Selanjutnya dalam satu ekspedisi lain, mereka mengarungi sungai Rano I Apo atau Ranoyapo dan tiba di Pontak. Di sana mereka mendirikan gudang penampungan beras karena di sana juga terdapat hasil padi/beras yang berlimpah. N. Graafland, seorang penginjil Protestan pada abad 19,  dalam De Minahasanya mengatakan bahwa ia sempat diberitahu oleh penduduk bahwa mereka masih menyaksikan lesung-lesung batu untuk menumbuk padi peninggalan orang Spanyol.
Satu ekspedisi lagi mereka lakukan ke arah utara. Pertama-tama sampai ke daerah yang menurut  Riedel adalah Rinumeran Ne Touw Um Wasian Katare-tare atau Tombasian, lalu melanjutkan perjalanannya masuk Wanua Wangko atau Kawangkoan terus ke daerah orang Tombulu: Katinggolan (Woloan Tua), Tomohon, turun ke Kali (Wilayah Pineleng kini) dan tiba kembali di dataran Wenang. Sepanjang perjalanan lintas Minahasa itu terjadi perang-perang melawan penduduk malasung sehingga banyak anggota ekspedisi yang kuburannya tidak diketahui. (Red. Hingga sekarang masih ada senjata perang termasuk topi orang-orang Spanyol yang kini dipergunakan sebagai antribut pemain Cakalele, mis. Cakalele yang ada di Paselaten Tomohon. Usianya diperkirakan sudah 4 sampai 5 abad).

Selengkapnya baca di Majalah Waleta Minahasa edisi 1, thn. I, 2010. 

Majalah Waleta Minahasa



Waleta Minahasa: bacaan tou minahasa
 


Majalah Waleta Minahasa diterbitkan kerjasama Gerakan Minahasa Muda (GMM) dengan Mawale Cultural Center (MCC). Majalah ini hadir untuk menjadi media informasi, komunikasi juga dokumentasi sejarah, budaya, seni, kuliner dan beberapa persoalan aktual di tanah Minahasa. Terbit perdana Mei 2010. Hadir setiap bulan dengan sajian-sajian yang menarik, semua tentang Tanah Minahasa dengan segala kekayaan sejarah, budaya, kuliner, pesona alam dan dinamikanya hari ini.

Edisi cetak bisa didapatkan di toko-toko buku di Manado, Tomohon, dan Tondano.  Bagi kawanua yang ingin mendapatkan majalah Waleta Minahasa secara praktis, kami menyediakan format Portable Document Format (PDF) yang dapat kami kirim melalui email. 

Kontak:
Meilita Ering (hp. 085298155693)
Denni (hp: 085240066189)
Rikson (hp. 085240037665)
Email: waletaminahasa@gmail.com

Pemimpin Umum/Pemred: Meidy Tinangon
Redaktur: Denni Pinontoan, Rikson Karundeng, Ivan R.B. Kaunang, Fredy Wowor, Bodewyn Talumewo, Sofyan Yosadi.
Penulis: Candra Rooroh, Frisky Tandaju, Riane Elean.
Pemasaran: Meilita Ering, Dilvon